Sabtu, 30 Juni 2012

Ahmad Ibnu Khadruya, Tujuh Puluh Hati dengan Cahaya Iman

Abu Hamid Ahmad ibnu Khadhruya al-Balkhi. Adalah seorang warga terhormat Kota Balkh. Istrinya adalah seorang wanita solikhah, putrid dari Gubernur Kota Balkh. Ahmad kerap dihubungkan dengan Hatim al-Asamm dan Abu Yazid al-Bisthami. Ia meninggal dunia di Nisyabur pada tahun 240 H / 864 M dalam usia 95 tahun.

Ia memiliki seribu orang murid. Setiap muridnya mampu berjalan diatas permukaan air dan terbang di udara. Ahmad mengenakan pakaian serdadu. Fatimah, istrinya, termasuk salah seorang wali sufi. Ia adalah putri dari Pangeran Balkh. Setelah bertobat, ia mengirim utusan untuk menemui Ahmad. “Mintalah aku dari ayahku.”

Ahmad tidak menanggapi, maka Fatimah pun mengirim utusan untuk kedua kalinya. “Ahmad, tadinya aku piker engkau lebih dari ini, jadilah pemandu jalan, jangan jadi penyamun.”

Ahmad pun kemudian mengirim seorang utusan untuk menemui ayah Fatimah untuk meminangnya. Ayah Fatimah, demi mencari berkah Allah, menyerahkan Fatimah kepada Ahmad. Fatimah pun memberikan salam perpisahan kepada keduaniawian dan menemukan kediaman yang tenang dalam kesunyian dengan Ahmad.

Hari-haripun berlalu. Suatu hari Ahmad berniat pergi mengunjungi Abu Yazid, Fatimah menyertainya. Saat mereka memasuki kediaman Abu Yazid, Fatimah melepaskan hijabnya dan berbincang-bincang dengan Abu Yazid.

Ahmad terkejut melihat hal ini, hatinya diliputi oleh api cemburu. “Fatimah apa yang engkau lakukan bersama Abu Yazid,” pekiknya.

“Engkau akrab dengan diri lahirku, sedangkan Abu Yazid akrab dengan diri batinku. Engkau membangkitkan hasratku, sedangkan ia membawaku kepada Allah,” jawab Fatimah. “Buktinya ia dapat kutinggalkan kapanpun engkau membutuhkan aku.”

Abu Yazid bercengkrama dengan Fatimah, hingga suatu kesempatan matanya memandang tangan Fatimah dan melihat kedua tangan Fatimah itu di warnai dengan pacar.

“Fatimah mengapa engkau memakai pacar?” Tanya Abu Yazid.

“Abu Yazid sebelum ini engkau tidak pernah memandang tanganku dan melihat pacar yang aku pakai,” jawab Fatimah. “Sebelum ini aku merasa tentrem bersamamu. Namun kini setelah matamu memandang tanganku, terlarang bagiku untuk menemanimu.”

:Aku telah memohon kepada Allah,” ujar Abu Yazid, “Agar Dia menjadikan wanita layaknya sebuah dinding dalam pandanganku. Dan begitulah Dia menampakkan wanita dalam pandanganku, seperti sebuah dinding.”

Kemudian Ahmad dan Fatimah melanjutkan perjalanan ke Nisyabur, dimana mereka disambut dengan hangat, saat Yahya ibnu Mu’adz Radhi tiba di Nisyabur dalam perjalanannya menuju Balkh. Ahmad ingin membuat pesta untuk Yahya, ia membicarakan itu dengan Fatimah.

“Apa yang kita butuhkan untuk pesta ini?” Tanya Ahmad.

“Banyak lembu dan domba,” jawab Fatimah. “Juga segala pernik-pernik perhiasan, seperti lilin dan minyak mawar, selain kita juga butuh sejumlah keledai.”

“Untuk apa daging keledai itu?” Tanya Ahmad.

Fatimah menjelaskan, “Saat seorang yang mulya datang untuk makan, anjing-anjing yang ada disekitar juga harus mendapat bagian dari pestanya.”

Begitulah jiwa kasatria yang dimiliki Fatimah. Sebagaimana dinyatakan oleh Abu Yazid, “Jika seseorang ingin melihat lelaki sejati bersembunyi dalam pakaian wanita, suruh ia melihat Fatimah.”

Ahmad mengisahkan riwayat berikut ini:

Untuk waktu yang lama, aku telah menekan jiwa badaniahku. Kemudian pada suatu hari, sekelompok besar orang bersiap untuk pergi berjihat. Di dalam diriku, timbul hasrat besar untuk mengikuti mereka. Jiwaku mengantarkanku akan sejumlah hadis yang berbicara mengenai imbalan di surga bagi mereka yang berjuang di jalan Allah.

“Aku begitu takjub, tak biasa-biasanya jiwaku sangat berhasrat untuk patuh,” ujarku. “Mungkin ini karena aku selalu membuat jiwaku berpuasa. Jiwaku tidak dapat menahan lapar lebih lama lagi, dan ingin berbuka puasa.”

“Aku akan ikut mereka berjihad, tapi aku tidak akan berbuka puasa dalam perjalanan.”

“Aku setuju,” jawab jiwaku.

Mungkin jiwaku berkata begitu karena aku selalu memerintahkannya untuk shalat malam. Ia ingin di perjalanan agar dapat tidur di malam hari dan beristirahat,” pikirku.

Maka aku pun berkata, “Aku akan tetap membuatmu terjaga hingga fajar.”

“Aku setuju,” jawab Jiwaku.

Aku tambah takjub. Kemudian terlintas dipikiranku, mungkin jiwaku berkata demikian karena ia ingin berbaur dengan orang banyak, ia telah letih berada dalam kesunyian, dan berharap mendapat pelipur lara dalam rombongan banyak orang.

Maka aku pun berkata, “Kemanapun aku membawamu, aku akan menaruhmu di tempat yang terpisah, dan aku tidak akan duduk berkumpul dengan orang-orang lain.”

“Aku setuju,” jawab jiwaku.

Aku pun terdiam, lalu memohon kepada Allah, Agar Dia menyingkapkan kepadaku segala tipu daya jiwaku atau membujat jiwaku mengaku.

Akhirnya, jiwaku bicara, “Setiap hari engkau membunuhku seratus kali, dengan menantang hasrat-hasratku, dan tak ada seorang pun yang tahu. Di dalam perang, setidaknya aku dapat terbunuh sekali untuk selamanya, dan akan mendapatkan kebebasan, dan beritanya akan tersebar ke seantero dunia. Ahmad ibnu Khadhruya benar-benar hebat! Mereka membunuhnya, dan ia meraih mahkota syahid.”

Kontan aku memekik, “Maha Mulia Allah, yang menciptakan sebuah jiwa dengan watak munafik ketika gidup, dan tetap munafik setelah mati. Jiwa seperti itu tidak akan pernah menjadi muslim sejati, baik didunia ini maupun di akherat kelak. Aku piker engkau ingin mematuhi Allah, ternyata tanpa kusadari, engkau tengah mencoba untuk memakai korset.”

Sejak saat itu aku menggandakan usahaku dalam menaklukkan jiwaku.

Ada seorang pencuri membobol rumah Ahmad, ia mencari kesana-kemari, namun tidak menemukan apa-apa. Saat ia hendak pergi meninggalkan rumah Ahmad, Ahmad memanggilnya, “Wahai anak muda, ambillah ember itu dan ciduklah air dari dalam sumur, berwuduklah, dan dirikanlah shalat. Jika aku mendapat sesuatu, aku akan memberikannya padamu, agar engkau tidak meninggalkan rumahku ini dengan tangan kosong.”

Si pencuri itu melakukan apa yang diperintahkan Ahmad. Ketika hari telah terang, seorang lelaki terhormat datang dan memberikan uang seratur dinar kepada Ahmad.

“Ambillah uang ini sebagai imbalan bagi malammu yang engkau lewatkan dengan shalat,” kata Ahmad kepada si pencuri.

Si pencuri kontan gemetaran seluruh tubuhnya, ia larut dalam tangis.

“Aku telah salah jalan,” pekiknya. “Baru semalam aku bekerja untuk Allah, dan Dia telah membalasku demikian besar.”

Pencuri itu pun bertobat, kembali kepada Allah. Ia menolak uang dinar yang diberikan oleh Ahmad, dan kemudian menjadi salah seorang mujrid Ahmad.

Pada suatu kesempatan, Ahmad pergi ke sebuah pondok sufi dengan mengenakan yang sangat buruk. Dalam cara sufi, Ahmad mengabdikan diri sepebuhnya untuk melakukan tugas-tugas spiritual. Namun para sufi lain di pondok itu diam-diam meragukan ketulusannya. “Tempatnya bukan disini,” kata mereka kepada Syekh mereka.

Kemudian pada suatu hari Ahmad pergi ke sumur dan embernya jatuh ke dalam sumur itu, para sufi lain mencela dan memakinya. Ahmad pun menemui sang syekh.

“Aku mohon, bacalah surah Al-Fatihah, agar ember dapat terangkat dari dalam sumur,” pinta Ahmad.

“Permohonan macam apa ini?” tukas sang syekh terheran-heran.

“Jika anda tidak berkenan membacanya,” kata Ahmad, “Maka izinkanlah aku untuk membacanya.”

Sang syekh mengizinkan, dan Ahmad pun membaca surah Al-Fatihah. Ember itu tiba-tiba terangkat ke permukaan. Ketika sang syekh melihat hal itu ia melepaskan serbannya.

“Anak muda siapa sebenarnya engkau? Lesungku hanya berisi sekam bila dibandingkan dengan bulir padimu,” Tanya sang syekh.

Ahmad menjawab, beri tahu para sahabatmu, janganlah terlalu memandang rendah para musafir.”

Suatu hari datang seorang lelaki datang menemui Ahmad dan berkata, “Aku sakit dan miskin, bimbinglah aku ke jalan yang dapat menghantarkanku keluar dari cobaan ini.”

“Tulislah jenis-jenis pekerjaan yang ada masing-masing pada secarik kertas,” jawab Ahmad. “Taruh potongan-potongan kertas itu dalam sebuah kantung, dan berikan padaku.”

Lelaki itu pun menuliskan semua jenis pekerjaan dan membawa semua potongan-potongan kertas itu kepada Ahmad. Ahmad memasukkan tangannya ke kantong itu dan mengambil secarik kertas. Di kertas itu tertulis pencuri.

“Engkau harus menjadi pencuri,” kata Ahmad kepada lelaki itu.

Lelaki itu terkejut bukan main, dan terheran-heran mendengar ucapan Ahmad. Kemudian ia bangkit dan pergi menemui sekawanan penyamun.

“Aku memimpikan pekerjaan ini,” katanya kepada mereka, “Bagaimana aku melakukannya?”

“Hanya ada satu aturan dalam pekerjaan ini,” kata mereka kepadanya. “Engkau harus melakukan apapun yang kami perintahkan.

“Aku akan melakukan apapun yang kalian perintahkan,” katanya meyakinkan mereka.

Lelaki itu tinggal bersama para penyamun selama beberapa hari. Lalu suatu hari, sebuah kafilah melintas. Para penyamun itu mencegatnya. Mereka menyerahkan salah seorang anggota kafilah itu, seorang saudagar yang kaya raya, kepada anggota baru.

“Gorok lehernya,” perintah mereka.

Lelaki itu ragu, ia berkata dalam hati, “Raja penyamun ini telah membunuh banyak orang , lebih baik aku membunuhnya daripada aku membunuh saudagar itu.”

“Jika engkau menginginkan pekerjaan ini, engkau harus melakukan semua yang kami perintahkan,” tukas sang pemimpin penyamun, “Kalau tidak, engkau harus pergi dan mencari pekerjaan lain.”

Lelaki itu berkata, “Ya, aku memang harus menjalankan perintah, tapi perintah Allah, bukan perintah kalian!”

Kemudian ia menghunus pedangnya, membiarkan saudagar itu pergi, dan menebas kepala sang raja penyamun.

Melihat jedian itu, para penyamun yang lain melarikan diri. Barang-baranaga milik kafilah itu tetap utuh, dan jiwa si saudagar tadi selamat. Ia memberikan banyak emas dan perak kepada lelaki itu agar bisa hidup mandiri.

Suatu hari seorang Darwis bertamu kerumah Ahmad dan diterima dengan hangat. Ahmad menyalakan tujuh puluh buah lilin.

“Ini tidak menyenangkanku,” kata si darwis, “sibuk dengan hal-hal remeh tidak ada kaitannya dengan sufisme.”

“Kalau begitu pergilah,” kata Ahmad, “Dan padamkan setiap lilin yang aku padamkan bukan karena Allah.”

Sepanjang malam si darwis menyiramkan air dan menaburkan tanah, namun tidak satu lilin pun yang berhasil ia padamkan.

“Mengapa engkau begitu terkejut?” kata Ahmad pada darwis itu keesokan harinya. “Ikutlah denganku, dan engkau akan melihat hal-hal yang memang patut membuat takjub.”

Mereka pun pergi dan di depan pintu sebuah gereja. Saat para pendeta Kristen melihat Ahmad bersama temannya, kepala gereja mengundang mereka untuk masuk. Ia menyajikan makanan di meja dan mempersilahkan Ahmad untuk makan.

“Para sahabat tidak makan bersama para musuh,” ujar Ahmad dengan hormat.

“Tawarkan Islam pada kami,” kata sang kepala Gereja.

Maka Ahmad menawarkan Islam kepada mereka. Tujuh puluh para pendeta akhirnya memeluk Islam.

Malam itu Ahmad bermimpi, dalam mimpinya itu, ia mendengar sebuah suara: Ahmad engkau menyalakan tujuh puluh lilin untukku, kini aku telah menyalakan untukmu tujuh puluh hati dengan cahaya Iman.

Abu Bakar Asy-Syibli, Sufi yang Hendak “Membakar” Neraka

Ia pernah menjadi gubernur. Demi mencari kebenaran Ilahiah, ia rela meninggalkan jabatan, lalu jadi pengemis, dan sempat kelaparan.

Nama Abu Bakar Asy-Syibli banyak menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Ulama besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan kerohanian, tapi juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah dan jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam ritus sufisme yang mendalam. Tak pelak kehidupannya yang unik memberikan inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.

Nama aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibly. Nama Asy-Syibli dinisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di Kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia dilahirkan pada 247 H di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. Mendapat pendidikan di lingkungan yang taat beragama dan berkecukupan harta, ia berkembang menjadi seorang yang cerdas.

Di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok terkemuka dalam sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan. Ia dikenal karena perilakunya yang eksentrik, yang menyebabkan akhirnya menyeret dia ke rumah sakit jiwa. Ia meninggal dunia pada 334 H / 846 M dalam usia 87 tahun.

Mula-mula ia menempuh pendidikan agama dengan belajar fikih Mazhab Maliki dan ilmu hadits selama hampir 12 tahun. Kecerdasan dan keluasannya dalam ilmu agama membawanya masuk dalam lingkungan kekuasaan, sehingga sempat menyandang berbagai jabatan. Karirnya melesat, ia menduduki beberapa jabatan penting selama bertahun-tahun. Ia, antara lain, menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermavend.

Dalam buku ajaran dan teladan para sufi, Dr. HM. Laili Mansur menulis:

“Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu Bakar Asy-Syibli dilantik oleh Khalifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, di tengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk-batuk seraya mengusapkan jubah baru itu ke hidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Khalifah. Dan Khalifah pun memecat serta menghukumnya.”

Asy-Syibli pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa diberhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Khalifah dan berkata:

“Wahai Khalifah, engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan diperlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. Sang Maharaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di samping cinta dan pengetahuan. Bagaimana dia akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia?”


Sejak itu ia meninggalkan karir dan jabatanya, dan ingin bertobat. Kisah pertobatannya menyentuh kalbu. Asy-Syibli mulai mengarungi dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing spritualnya. Antara lain ia juga masuk ke dalam kelompok spritual Khairal Nassaj. Belakangan ia juga berguru kepada beberapa sufi terkenal, seperti Junaid Al-Baghdadi – yang sangat mempengaruhi perkembangan kerohaniannya. Sufi masyhur yang cemerlang dalam berbagai gagasan tasawuf ini memang punya banyak pengikut.

Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.

Maka Junaid pun menjawab:

“Jika kujual kepadamu, engkau tidak sanggup membelinya, jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”

Lalu kata Asy-Syibli, ”Jadi apakah yang harus kulakukan sekarang?”

Jawab Junaid, “Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun.”

Maka Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota Baghdad dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun lewat, ia kembali kepada Junaid. Maka ujar Junaid:

“Sekarang sadarilah nilaimu! Kamu tidak ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara, dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau rugikan.”


Maka ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi. Ia lalu berkata, “Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid. Perintah Junaid, “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah selama setahun!”

Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah sang guru. “Setiap kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada malam hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli.

Setahun kemudian Junaid berkata, “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”

Setelah ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi, “Hai Abu Bakar, bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Jawab Asy-Syibli, “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”

Junaid menimpali, “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada nilainya di mata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata, “Kini sempurnalah keyakinanmu.”

Banyak hikmah dan karomah di sekitar sufi besar ini. Dalam kitab Tadzkirul Awliya diceritakan, selama beberapa hari Syibli menari-nari di bawah sebatang pohon sambil berteriak-teriak, “Hu, Hu, Hu!”

Para sahabatnya bertanya-tanya, “Apakah arti semua ini?” beberapa hari kemudian Syibli menjawab, “Merpati hutan di pohon itu meneriakkan “Ku, Ku”, maka aku pun mengirinya dengan “Hu, Hu”, burung itu tidak berhenti bernyanyi sebelum aku berhenti meneriakkan Hu, Hu,” begitulah!”

Membakar Surga


Di lain hari orang menyaksikan Syibli berlari-lari sambil membawa obor. “Hendak kemanakah engkau?” tanya orang-orang itu. “Aku hendak membakar Ka’bah, sehingga orang-orang hanya mengabdi kepada yang memiliki Ka’bah,” jawab Syibli.

Di lain waktu, tampak Syibli membawa sepotong kayu yang terbakar di kedua ujungnya, “Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan membakar surga dengan api di ujung lainnya, sehingga manusia hanya mengabdi karena Allah.

Setelah mengalami kemajuan spiritual sampai pada suatu titik di mana ia dapat memenuhi sakunya dengan gula-gula, dan pada setiap bocah yang ia temui, ia akan berkata, “Katakanlah, Allah!” lalu ia akan memberikan gula-gula. Setelah itu ia akan memenuhi saku bajunya dengan uang dirham dan dinar. Ika berkata, “Siapa saja yang berkata Allah sekali saja, aku akan penuhi mulutnya dengan emas.”

Setelah itu semangat kecemburuan berkobar dalam dirinya, dengan menghunus pedang, sambil berkata, “Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan ku tebas kepalanya dengan pedang ini,” pekiknya.

Orang-orang berkata, “Sebelumnya engkau biasa memberikan gula-gula dan emas, namun mengapa sekarang engkau mengancam mereka dengan pedang?”

Ia menjelaskan, “Sebelum ini aku kira mereka menyebut nama-Nya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku tidak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.”

Setelah itu di setiap tempat yang ia temui, ia menuliskan nama Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata padanya: “Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan seorang pencari sejati, carilah pemiliknya!”

Kata-kata ini begitu menyentak As-Syibli. Tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya cinta menguasainya, begitu sempurnanya ia diliputi oleh gonjang-ganjing mistis, sampai-sampai ia menceburkan diri ke Sungai Tigris.

Gelombang sungai membawanya kembali ke tepi. Kemudian ia menghempaskan dirinya ke dalam kobaran api, namun api itu kehilangan daya untuk membakarnya. Ia mencari tempat di mana sekelompok singa berkumpul lalu berdiam diri di sana, namun singa-singa itu malah melarikan diri menghindarinya. Ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkram dan menurunkannya ke tanah dengan selamat. Kegelisahannya semakin memuncak beribu-ribu kali lipat.

Ia memekik, “Terkutuklah ia, yang tidak diterima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pengunungan!” Lalu terdengarlah sebuah suara, “Ia yang diterima oleh Allah, tidak diterima oleh yang lain.”

Kemudian orang-orang membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka berkata, “Orang ini sudah gila.”

Ia menjawab, “Di mata kalian aku ini gila dan kalian waras. Semoga Allah menambah kegilaanku dan kewarasan kalian. Kalian dihempaskan semakin jauh dan jauh lagi!”

Khalifah lalu menyuruh seseorang untuk merawatnya. Orang itu datang dan menjejalkan obat secara paksa ke mulut As-Syibli.

“Jangan persulit dirimu,” pekik As-Syibli. “Penyakit ini bukanlah jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan seperti itu.”

Saat As-Syibli tengah dikurung dan di belenggu di rumah sakit jiwa, beberapa orang sahabatnya datang menjenguk.

“Siapa kalian?” pekiknya.

“Sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.

Tiba-tiba ia mulai melempari mereka dengan batu, dan mereka lari menghindar.

Ia berteriak, “Dasar pembohong! Apakah seorang sahabat lari dari sahabatnya hanya karena beberapa bongkah batu? Ini membuktikan bahwa kalian sebenarnya adalah sahabat bagi diri kalian sendiri, bukan sahabatku!”

                                                      ************

DIRIWAYATKAN bahwa ketika As-Syibli mulai mempraktikkan penyangkalan diri, selama bertahun-tahun ia biasa mengurapi matanya dengan garam agar ia tetap terjaga. Ia telah menghabiskan 260 kilogram untuk itu.

Ia kerap berujar, “Allah Yang Maha Kuasa selalu memperhatikanku.”

“Orang yang tidur itu lalai, dan orang lalai itu terhijabi,” tambahnya.

Suatu hari Junaid mengunjungi As-Syibli dan melihat sedang menahan kelopak matanya dengan jepitan.

“Mengapa engkau melakukan ini?” tanya Junaid.

“Kebenaran telah menjadi nyata, namun aku tak tahan melihatnya,” jawab As-Syibli. “Aku menjepit kelopak mataku karena siapa tahu Dia berkenan menganugerahkanku satu pandangan saja.”

As-Syibli biasa pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat tongkat kayu. Kapan saja hatinya lalai, ia akan memukul dirinya sendiri dengan tongkat-tongkat itu.

Akhirnya ia kehabisan tongkat, semuanya telah patah. Maka ia pun membentur-benturkan kedua tangan dan kakinya ke dinding gua.

As-Syibli selalu mengatakan kalimat: “Allah…, Allah…,” salah seorang muridnya yang setia bertanya kepadanya, “Mengapa Guru tidak berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.”

As-Syibli menghela nafas dan menjelaskan, “Aku takut ketika aku mengucapkan “Tiada Tuhan” nafasku terhenti sebelum sempat mengatakan “Selain Allah.” Jika begitu, aku akan benar-benar hancur.

Kata-kata ini benar-benar menggetarkan dan menghancurkan hati sang murid, hingga ia tersungkur dan akhirnya meninggal dunia.

Teman-teman si murid itu datang dan menyeret As-Syibli ke hadapan Khalifah. As-Syibli, tetap dalam gejolak ekstasinya, berjalan seperti orang mabuk. Mereka menuduh As-Syibli telah melakukan pembunuhan.

“As-Syibli, apa pembelaanmu?” tanya Khalifah.

As-Syibli menjawab, “Jiwanya, yang terbakar sempurna oleh kobaran api cinta, tak sabar menghadap keagungan Allah. Jiwanya, yang keras disiplinnya, telah terbebas dari keburukan badaniah. Jiwanya, yang telah sampai pada batas kesabarannya sehingga tak mampu menahan lebih lama lagi, dikunjungi secara berturut-turut oleh para utusan Tuhannya yang mendesak. Kilatan cahaya keindahan dari kunjungan ini menembus inti jiwanya. Jiwanya, seperti burung, terbang keluar sangkarnya, keluar tubuhnya. Apa salah As-Syibli dalam hal ini?

“Segera kembalikan As-Syibli ke rumahnya,” perintah Khalifah. “Kata-katanya telah membuat batinku terguncang sedemikian rupa hingga aku bisa terjatuh dari singgasanaku ini!”

Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan matanya tampak murung. Ia minta segenggam abu, kemudian ditaburkannya di kepalanya. Ia gelisah.

“Mengapa engkau gelisah?” tanya salah seorang sahabatnya. Maka jawab Syibli:
“Aku iri kepada Iblis. Di sini aku duduk dalam dahaga, tapi dia memberi nikmat kepada yang lain. Allah telah berfirman: “Sesungguhnya laknat-Ku kepadamu hingga hari kiamat (QS, 38:78). Aku iri karena Iblislah yang mendapatkan kutukan Allah itu. Meskipun berupa kutukan, bukanlah kutukan itu dari Dia dan dari kekuasaan-Nya?”

Apakah yang diketahui oleh si laknat mengenai nilai kutukan itu? Mengapa Allah tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan membuat mereka menginjak mahkota di singgasana-Nya? Hanya ahli permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang Raja mengenakan gelang manik dari kristal, itu akan tampak seperti permata. Tapi jika pedagang sayur mengenakan cincin setempel dari permata, cincin itu akan tampak sebagai manik dari kaca.”

Setelah beberapa saat tenang, Syibli kembali gelisah. “Mengapa engkau gelisah lagi?” tanya sahabatnya.

Maka jawabnya, “Angin sedang berembus dari dua arah. Yang satu angin kasih sayang, yang lain angin kemurkaan. Siapa saja yang ingin terhembus oleh angin kasih sayang, tercapailah harapannya. Dan siapa yang terembus angin kemurkaan, tertutuplah penglihatannya. Kepada siapakah angin bertiup? Bila angin kasih sayang berembus ke arahku karena akan tercapai harapan itu, aku dapat menanggung segala penderitaan dan jerih payah. Jika angin kemurkaan berembus ke arahku, penderitaan ini tidak ada artinya dibanding bencana yang akan menimpaku. Tidak ada yang lebih berat dalam batinku daripada uang satu dirham yang kuambil dari seseorang secara aniaya. Walaupun untuk itu aku telah menyedekahkan 1000 dirham, batinku tidak memperoleh ketenangan. Berikan air kepadaku untuk bersuci!”

Maka para sahabatnya pun mengambil air untuknya. Usai bersuci, Asy-Syibli pun wafat dengan tenang.

(Sumber Kisah Alkisah Nomor 09 / 25 April – 8 Mei 2005)

Jumat, 29 Juni 2012

Al-Hallaj, Sufi yang Disalib dan Dibakar

Seperti Socrates – fisuf besar Yunani sekian abad sebelum masehi yang harus mati minum racun, Al-Hallaj juga tokoh besar dan filsuf yang dihukum mati karena mempertahankan pendapat dan ajarannya. Mereka sama-sama meninggalkan banyak legenda yang masih dibicarakan orang hingga kini. Lebih penting lagi ialah pemikiran dan gagasan-gagasannya yang brilian. Sudah ratusan buku yang membahas kedua tokoh ini.

Dalam dunia sufi, Al-Hallaj mempunyai kisah tersendiri. Pemikirannya tentang Wahdatul Wujud, yaitu paham yang meyakini bahwa seseorang mampu meleburkan diri ke dalam Dzat Allah, meninggalkan banyak kontroversi. Bahkan sampai sekarangpun perdebatan tentang hal itu belum juga reda. Selain itu Al-Hallaj juga sangat piawai dalam mengemukakan pengalaman spritualnya. Ia bahkan cenderung ekstrim. Jargonnya yang terkenal; Ana al-Haq (aku adalah Tuhan),masih terus menjadi bahan perbincangan yang tiada habis sampai sekarang.

Ia lahir dengan nama Abu Al-Mugis Al-Husain ibnu Mansur al-Baidlawi  pada 858 M / 244 H di Baida, di Provinsi Fars, Iran. Masa remajanya dihabiskan di Kota Tustar, belajar pada Sahal ibnu Abdullah At-Tustari, sufi besar yang terkenal di Tustar. Ketika usianya menginjak 18 tahun, ia pergi ke Basrah, lalu ke Baghdad, ia berguru kepada beberapa guru spritual, seperti Syekh Abdul Husain al-Nurim Syekh Junaid Al-Bagdadi, dan Syekh Amru ibn Usman Al-Makki.

Ketika berguru pada Al-Makki itulah ia mulai mendapat pemahaman tentang Wahdatul Wujud, dan sejak itu ia banyak melontarkan ucapan-ucapan yang kontroversial. Padahal beberapa gurunya sudah berkali-kali melarangnya. Tapi sia-sia. Itu sebabnya ia memilih meninggalkan perguruannya di Basrah, dan kembali ke Baghdad. Di Ibu kota Irak ini ia masuk kembali ke perguruan milik Syekh Junaid Al-Baghdadi. Tapi di sini ia kembali melontarkan ucapan-ucapan yang mengungkapkan rahasia ke-Tuhan-an, walaupun sudah dilarang oleh gurunya.

Meski bagi banyak orang dianggap nyeleneh, Al-Hallaj juga berdakwah. Bahkan ia tidak tanggung-tanggung dalam berdakwah. Misalnya berdakwah sambil mengembara, dari Ahwaz, Khurasan, Turkistan, keluar dari Irak, sampai ke India. Hebatnya dimanapun ia berada selalu elu-elukan karena ilmu agamanya yang tinggi. Kepiawaiannya inilah yang menjadikannya mempunyai banyak pengikut yang balakangan disebut kelompok al-Hallajiyah. Mereka memandang Al-Hallaj sebagai waliyullah yang memiliki kekeramatan.

Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, Al-Hallaj adalah seorang sufi yang sangat tekun beribadah. Dalam ibadahnya yang khusyu’ ia sering mengungkapkan rasa Syathahat, yaitu ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil. Hal itu terjadi ketika ia tenggelam dalam Fana, suatu tingkatan kerohanian ketika kesadaran tentang segala sesuatu sirna kecuali hanya kesadaran tentang Allah SWT.

Dari sinilah muncul ungkapan An al-Haq – yang oleh Al-Hallaj ditafsirkan bahwa  “Aku berada di dalam Dzat Allah.” Bayak ahli tasawuf menafsirkan, ungkapan itu sebenarnya tidak dimaksudkan bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal itu tampak dalam sebuah pernyataan, “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, bukanlah Yang Maha Benar Itu Aku. Aku hanyalah satu dari yang benar. Maka bedakanlah antara aku dan Dia.”

Ia menulis sejumlah kitab dan bait-bait puisi. Dalam legenda Muslim, ia adalah prototipe pencinta yang mabuk kepayang kepada Allah.

Husain ibnu Manshur, yang dijuluki Al-Hallaj (penyortir wol), awalnya pergi menuju Tustar, di sana menjadi pelayan Sahl ibnu Abdullah selama dua tahun, kemudian setelah itu ia bertolak ke Baghdad.

Ia memulai pengembaraannya pada usia 18 tahun. Setelah itu ia pergi Bashrah dan bergabung dengan Amr ibnu Ustman, sampai delapan belas bulan bersamanya. Ia menikah dengan putri Ya’qub Al-Aqta’. Karena pernikahannya dengan Putri Ya’qub itulah membuat Amr ibnu Ustman menjadi tidak senang terhadap Al-Hallaj.

Karena itulah Al-Hallaj pergi meninggalkan Bashrah menuju Baghdad. Di sana ia menemui Junaid. Junaid memberikan syarat kepada Al-Hallaj, bahwa ia harus diam dan mengasingkan diri.

Setelah beberapa lama ia bersama Junaid, ia melanjutkan perjalanannya menuju Hijaz. Ia tinggal di Makkah selama satu tahun. Setelah itu ia kembali lagi ke Baghdad. Bersama sekelompok sufi ia sering menghadiri majelis Junaid dan sering mengajukan pertanyaan kepada Junaid, namun Junaid tidak menjawabnya.

Ketika Junaid menolak menjawab pertanyaan-pertanyaannya, Al-Hallaj merasa kesal dan tanpa pamit ia pergi menuju Tustar. Di sana ia tinggal selama satu tahun dan diterima dengan hangat oleh masyarakat, namun  karena ia sering merendahkan doktrin yang berlaku di tengah masyarakat saat itu, para ulama ulama pun akhirnya merasa jengkel lalu menentangnya.

Al-Hallaj pun sebenarnya sudah jemu dengan tempat itu. Ia lalu mencoba menanggalkan jubah sufinya, dan mengenakan jubah orang kebanyakan, dan menghabiskan hari-harinya bersama orang-orang kebanyakan (duniawi).

Namun upaya ini tidak membawa perubahan apa-apa bagi dirinya. Setelah itu ia menghilang selama lima tahun. Sebagian ia habiskan waktunya di Khurasan, dan Transoxiana, sebagian lagi di Sistan.

Al-Hallaj kemudian kembali ke Ahwaz. Di sana khotbah-khotbahnya mendapat dukungan dari kaum elite dan masyarakat kebanyakan. Ia sering berkhotbah tentang rahasia-rahasia manusia, sehingga ia dijuluki sebagai “Al-Hallaj Sang Rahasia.”

Setelah masa itulah ia mengenakan jubah Darwis yang compang camping lagi dan pergi menuju ke tanah Haram, bersama sekelompok orang dengan pakaian yang serupa. Saat ia tiba di Makkah, Ya’qub Al-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Karena tuduhan itulah ia kembali lagi ke Bashrah, lalu ke Ahwaz.

“Sekarang aku akan pergi ke negeri-negeri kaum Polities, untuk menyeru manusia kepada Allah,” tuturnya.

Ia pun pergi ke India, Transoxiana, lalu ke Cina., menyeru manusia kepada Allah dan banyak menulis kitab untuk mereka.

Saat ia kembali dari pengembaraannya ke daerah-daerah itu, masyarakat di daerah-daerah tersebut menulis surat untuknya.

Orang-orang India memanggilnya Abul Mughis, masyarakat Cina menjulukinya Abul Mu’in, mereka yang di Khurasan mengenalnya sebagai Abul Muhr, orang-orang Parsi memanggilnya Abu Abdullah, masyarakat Khusiztan menjulukinya Al-Hallaj, sang Rahasia, di Bahgdad ia dijuluki sebagai Mustalim, sedangkan di Bashrah ia dikenal sebagai Mukhabbar.

Sekembalinya dari Makkah yang kedua kalinya, keadaannya telah banyak berubah. Ia adalah seorang “manusia baru”, menyeru manusia kepada kebenaran dengan menggunakan istilah-istilah yang sama sekali tidak dipahami oleh seorangpun. Karena itulah, diriwayatkan bahwa ia telah di usir dari lima puluh kota.

Dalam keadaan yang membingungkan seperti itulah, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok berkaitan dengan Al-Hallaj, ada yang pro pada pendapatnya, dan ada banyak yang menentangnya. Walaupun mereka banyak yang menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Al-Hallaj.

“Katakanlah, Dialah Kebenaran,” teriak mereka kepadanya.

“Ya, Dialah segalanya,” jawab Al-Hallaj. “Kalian mengatakan bahwa Dia hilang (tak dapat diindrai). Sebaliknya Husainlah (maksudnya dirinya) yang hilang (fana). Lautan tak akan surut ataupun lenyap.”

Masyarakat melapor kepada Syekh Junaid, “kata-kata Al-Hallaj mengandung makna esoteris.”

“Biarkan ia dieksekusi,” jawab junaid. “Sekarang ini bukanlah saat yang tepat bagi makna-makna esoteris.”

Ia dipenjara oleh Khalifah selama satu tahun. Namun selama dalam tahanan itu, masyarakat sering menjenguk dan menemuinya untuk mengkonsultasikan masalah-masalah mereka. Akhirnya mereka dilarang untuk mengunjungi Al-Hallaj. Setelah itu selama lima bulan tak ada seorangpun yang menemuinya, kecuali Ibnu Atha’ dan Ibnu Khafif.

Pada suatu kesempatan, Ibnu Atha’ mengirimkan pesan kepada Al-Hallaj. “Wahai Syekh, mintalah maaf atas segala ucapanmu agar engkau bisa bebas.”

Al-Hallaj menjawab, “Suruh ia yang mengatakan hal ini untuk meminta maaf.”

Ibnu Atha’ menangis saat mendengar jawaban ini. “Kita bahkan tidak memiliki secuil pun derajat dibanding dengan Al-Hallaj.” Katanya.

Diriwayatkan, pada malam pertama ia dipenjara, para sipir datang ke selnya, namun tidak menemukannya di sana. Mereka mencarinya ke seluruh sudut sel, namun ia tetap tidak ditemukan.

Pada malam kedua, mereka juga tidak menemukan baik Al-Jallaj maupun selnya.

Pada malam ketiga, mereka menemukannya berada di dalam selnya.

Para sipir itu bertanya, “Dimana engkau pada malam pertama, dan dimana engkau bersama sel ini di malam kedua? Kini engkau di sel ini kembali, tanda-tanda apa ini?”

Ia menjawab, “Di malam pertama, aku berada di dalam-Nya, karena itulah aku tidak berada di sini. Pada malam kedua, Dia berada di sini, maka aku dan sel ini pun tiada. Di malam ketiga, aku dikirim kembali, agar hukum dapat ditegakkan, ayo lakukan tugas kalian!”

Saat Al-Hallaj masuk penjara itu, ada tiga ratus orang tahanan lain di sana. Malam itu ia menyapa mereka, “Wahai para tahanan, maukah kalian aku bebaskan?”

“Mengapa tidak engkau bebaskan saja dirimu sendiri?” Tanya mereka.

“Aku adalah tahanan Allah, aku adalah pengawal keselamatan,” jawabnya. “Jika engkau mau, aku dapat melepaskan semua belenggu dengan satu isyarat.”

Al-Hallaj membuat satu isyarat dengan jari telunjuknya, dan semua belenggu mereka pun terbuka, hancul lebur.

“Sekarang bagaimana kita bisa pergi? Tanya para tahanan itu. “Karena pintu sel terkunci.”

Al-Hallaj membuat satu isyarat lagi, dan tembok penjara pun jebol.

“Sekarang pergilah kalian,” pekiknya.

“Engkau tidak ikut?” Tanya mereka.

“Tidak,” jawabnya. “Aku punya sebuah rahasia dengan-Nya yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan.”

“Keesokan harinya para sipir bertanya padanya, “Kemana perginya para tahanan lainnya?”

“Aku telah membebaskan mereka,” jawab Al-Hallaj dengan santainya.

“Mengapa engkau tidak ikut pergi?” tanya mereka.

“Allah punya alasan untuk mencemoohku, maka aku tidak pergi,” jawabnya.

Kejadian di penjara ini dilaporkan kepada Khalifah. “Akan ada kerusuhan,” pekik Khalifah. “Bunuh dia, atau cambuk dia dengan tongkat sampai dia menarik kembali ucapannya.”

Mereka mencambuknya dengan tongkat sebanyak tiga ratus kali. Setiap kali cambuk mendera tubuhnya, sebuah suara ghaib berkata, “Jangan takut, wahai Ibnu Manshur!”

Kemudian mereka membawanya keluar untuk disalib. Dengan tiga belas belenggu yang berat di tubuhnya, Al-Hallaj melangkah dengan tegap sepanjang jalan, sambil melambaikan tangannya seperti seorang pengembara.

“Mengapa engkau berjalan dengan begitu pongah?” Mereka bertanya.

“Karena aku tengah berjalan menuju pejagalan,” jawabnya. sambil melantunkan bait-bait syait:

kekasihku tak bersalah
diberi-Nya aku anggur terbaik seperti Dia
laksana tuan rumah yang ramah, melayani tamunya.
Dan kala perjamuan telah berakhir,
Dia menghunus pedang dan kafan pun di gelar-Nya,
Itulah takdir,
Bagi ia yang meneguk anggur lama,
Di musim panas bersama singat tua.


Menurut Al-Hallaj, Allah SWT menciptakan menusia menurut bentuk-Nya, dalam pengertian bahwa, kendati manusia adalah makhluk dan bukan Tuhan, manusia mempunyai tabiat kemanusiaan  yang menyerupai tabiat ketuhanan Allah SWT. Dengan kata lain, tabiat kemanusiaan adalah tabiat ke-Tuhan-an yang tidak sempurna, sedangkan tabiat ketuhanan Allah SWT Maha Sempurna, suci dari kekurangan. Banyak sufi se zamannya yang berbicara seperti itu, misalnya Syekh As-Syibli, yang bahkan dianggap gila. Lain halnya dengan AL-Hallaj, ia tidak dianggap gila, tapi orang waras yang bijak.

  • Banyak kisah menarik di sekitar Al-Hallaj, terutama pergaulannya dengan Junaid Al-Bagdadi. Pada suatu hari Syekh Junaid berkata, “Hai, Mansur (Al-Hallaj) tak lama lagi suatu titik dari sebilah papan akan diwarnai oleh darahmu!” maka sahut Al-Hallaj, “Benar, tapi engkau juga akan melemparkan pakaian kesufianmu dan mengenakan pakaian Maulwi Ana Al-Haq.”  Dan ternyata dua ramalan itu menjadi kenyataan. Pada suatu hari Al-Hallaj benar-benar dirangsang oleh “Api cinta Ilahiyah” dan kembali meneriakkan “Ana al-Haq” tanpa henti.

Para guru dan teman-temannya seperti Syekh Junaid dan As-Syibli, menasihati dia agar menahan diri. Namun ia tidak mempan oleh teguran itu. Al-Hallaj terus saja mengulang seruannya, “Ana Al-Haq,” setiap saat. Gara-gara itulah, kaum ulama syariat bangkit melawan Al-Hallaj, didukung oleh Hamid bin Abbas, Perdana Menteri Irak. Dan akhirnya keluarlah “Fatwa Kufur”, yang menyatakan bahwa Al-Hallaj melanggar ketentuan agama dan dapat dihukum mati.

Tapi ketika hukuman itu disampaikan untuk mendapat persetujuan Khalifah Muqtadir Billah menolaknya, kecuali fatwa tersebut di tanda tangani oleh Syekh Junaid Al-Bagdadi, maka Khalifah Muqtadir pun mengirimkan fatwa itu kepada Syekh Junaid – sampai enam kali. Pada kiriman yang ke tujuh, Syekh Junaid membuang pakaian kesufiannya lalu memakai pakaian keulamaan. Setelah itu ia menulis pada surat jawaban: menurut hukum syariat, Al-Hallaj dapat di jatuhi hukuman mati, tapi menurut ajaran rahasia kebenaran, Allah Maha Tahu!.
  • Maka Al-Hallaj pun ditangkap pada tahun 913 M / 309 H. ia ditahan dan dijebloskan kedalam penjara. Para ulama pro pemerintah menuduhnya sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan syariat. Bahkan ia dituduh berkomplot dengan kelompok perusuh Qaramithah yang mengancam kedaulatan Bani Abbasiyah. Maka Al-Hallaj pun dihukum mati dengan cara disalib.

Saat mereka membawa Al-Hallaj ke tiang gantungan di Bab al-Taq, ia mencium kayunya dan menaiki tangganya sendiri.

“Bagaimana perasaanmu?” Tanya mereka.

“Mi’rajnya seorang kasatria adalah di tiang gantungan,” jawabnya.

Ia mengenakan celana sebatas pinggang dan mantel di bahunya. Sambil menghadap ke arah kiblat, ia menengadahkan kedua tangannya dan mulai bercengkrama dengan Allah.

“Apa yang diketahui-Nya, tak seorang pun mengetahuinya,” katanya. Lalu ia pun naik ke tiang gantungan.

Sekelompok orang pengikutnya bertanya, “Bagaimana menurutmu, mengenai kami yang merupakan para pengikutmu, dan mengenai mereka, yang hendak merajammu?”

“Mereka mendapat dua pahala, sedangkan kalian satu,” jawabnya. Kalian hanya berprasangka baik padaku, sedangkan mereka digerakkan oleh kekuatan keimanan terhadap Allah untuk menjaga kelurusan hukum-Nya.”

Kemudian As-Syibli mendekat dan berdiri di hadapannya sambil berkata, “Bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia?” pekiknya. Lalu ia bertanya, “Wahai Al-Hallaj, apa itu sufisme?”

Al-Hallaj menjawab, “Yang engkau lihat ini adalah derajat terendahnya.”

“Lalu apa yang lebih tinggi daripada ini?” tanya As-Syibli.

“Yang tak dapat engkau capai,” jawab Al-Hallaj.

Orang-orang mulai melempari Al-Hallaj dengan batu. Sedangkan As-Syibli, demi menyesuaikan diri, melempar segumpal tanah. Al-Hallaj merintih.

Mereka bertanya, “Engkau tidak merintih saat dilempar dengan batu-batu itu. Tapi mengapa engkau merintih sewaktu terkena lemparan segumpal tanah?”

“Karena mereka yang melemparku dengan batu tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Mereka punya alasan. Sedangkan ia yang melempar gumpalan tanah itu, ia mengetahui bahwasanya tidak seharusnya ia melakukan itu kepadaku. Itulah yang menyakitkanku.”

Kemudian mereka memenggal kedua tangannya, Al-Hallaj pun tertawa.

“Mengapa engkau tertawa?” pekik mereka.

“Sungguh mudah memenggal kedua tangan orang seseorang yang terbelenggu,” jawabnya. “Namun dibutuhkan seorang kasatria untuk memenggal tangan-tangan segenap sifat yang melepaskan mahkota cita-cita dari dahi-Nya.”

Mereka memotong kedua kakinya. Ia pun tersenyum.

“Dengan kedua kaki ini, aku melakukan perjalanan duniawi,” katanya. “Dengan dua kaki lainnya yang kupunya, aku bahkan bisa berjalan di dua alam (dunia dan akhirat). Jika kalian mampu, potonglah kedua kaki itu!”

Lalu ia mengusapkan kedua tangannya yang bunting ke wajahnya, sehingga lengan dan wajahnya berlumuran darah.

Mereka bertanya, “Mengapa engkau melakukan itu?”

“Aku telah kehilangan banyak darah,” jawabnya. “Aku sadar bahwa wajahku telah memucat. Kalian menyangka bahwa pucatnya wajahku disebabkan oleh ketakutanku. Maka kuusapkan darah ke wajahku agar pipiku tampak semerah mawar di mata kalian. Riasan para ksatria adalah darah mereka.”

“Lalu mengapa engkau juga melumuri lenganmu dengan darah?”

“Aku tengah berwudlu.”

“Wudlu untuk apa?”

“Saat seseorang hendak mendirikan shalat dua rakaat dalam cinta,” jawab Al-Hallaj. “Wudlunya belum sempurna bila tidak dilakukan dengan darah.”

Kemudian mereka mencungkil kedua bola matanya. Raungan terdengar di antara kerumunan orang. Sebagian menangis, sebagian melempar batu. Lalu mereka hendak memotong lidahnya.

“Sabarlah sedikit, beri aku waktu untuk mengutarakan sepatah-dua patah kata,” ujarnya. “Ya Allah, pekiknya sambil menengadahkan wajahnya ke langit. “Janganlah engkau usir mereka dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan padaku karena Engkau. Jangan pula Engkau cabut kebahagiaan ini dari mereka. Segala puji bagi Allah, karena mereka memotong kedua kakiku saat aku tengah meniti jalan-Mu. Dan jika mereka memenggal kepalaku, sungguh mereka telah mengangkatku ke tiang gantungan, merenungkan keagungan-Mu.”

  • Sebelum dihukum mati, ia shalat dan berdoa, “Ya Allah, mereka adalah hamba yang berhimpun untuk membunuhku, karena fanatik kepada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Maka ampunilah dan berilah rahmat kepada mereka. Karena jika engkau membuka hati mereka, seperti engkau membuka hatiku, mereka tidak akan melakukan seperti yang sedang mereka lakukan terhadapku. Dan jika engkau tutup hatiku seperti engkau menutup hati mereka, niscaya aku tidak akan diperlakukan seperti ini.”

Kemudian mereka memotong daun telinga dan hidungnya. Seorang yang membawa kendi kebetulan hadir di sana. Melihat Al-Hallaj, ia memekik, “Penggal, penggal dengan keras dan benar! Apa urusannya ia bicara tentang Tuhan?”

Kata-kata terakhir yang diucapkan Al-Hallaj adalah “Cinta-Nya adalah pengasingan-Nya.” Kemudian ia membaca sebuah ayat: “Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan, dan orang-orang yang beriman merasa takut padanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi).”

Itulah kata-kata terakhirnya.

Kemudian mereka memotong lidahnya. Baru ketika shalat maghrib tiba mereka memenggal kepalanya. Bahkan saat mereka memenggal kepalanya, Al-Hallaj tersenyum, lalu setelah itu ia meninggal dunia.

Tangisan membahana dari kerumunan orang. Al-Hallaj telah membawa bola takdir ke batas medan tawakal. Tiap potongan tubuhnya menyerukan, “Akulah Kebenaran.”

Keesokan harinya mereka mengatakan, “masalah ini akan bertambah buruk ketimbang saat ia hidup.”

Maka mereka pun membakar jasadnya. Dari abunya pun terdengar seruan, “Akulah Kebenaran.” Bahkan pada saat pembantaiannya, tiap tetes darahnya membentuk nama Allah”.

Mereka tercengang melihat semua itu, lalu mereka membuang abunya ke Sungai Tigris. Abunya mengambang di permukaan sungai Tigris dan terus menyerukan, “Akulah kebenaran.”

Sebelum dieksekusi Al-Hallaj telah berpesan kepada pembantunya, “Saat mereka membuang abu jasadku ke Sungai Tigris, Baghdad akan terancam tenggelam. Hamparkanlah jubahku di sungai, kalau tidak, Baghdad akan hancur.”

Pembantunya, saat melihat apa yang terjadi, membawa jubah Al-Hallaj dan menghamparkannya di tepi Sungai Tigris. Air pun surut dan abu Hallaj pun diam. Kemudian mereka mengumpulkan abunya dan menguburkannya.

Kematian Al-Hallaj merupakan kehilangan besar sekaligus noda hitam dalam dunia tasawuf. Namun pemikirannya tetap hidup terus, tak lekang oleh ruang dan waktu.

(Sumber kisah Al-Kisah Nomor 16 . 2 –15 Agt 2004)

Rabu, 27 Juni 2012

Kisah-Kisah Keajaiban Sedekah dalam Menyembuhkan Berbagai Penyakit

Sedekah bisa menjadi obat bagi penyakit Anda! Rasulullah SAW bersabda :

دَاوُوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ
“Obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah.” (HR. Baihaqi).

فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَ نَفْسِهِ وَ وَلَدِهِ وَ جَارِهِ يُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Ujian yang menimpa seseorang pada keluarga, harta, jiwa, anak, dan tetangganya bisa dihapus dengan puasa, shalat, sedekah, dan amar makruf nahi munkar.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Inilah kisah-kisah nyata yang akan membuat semua orang beriman terpana. Betapa sedekah memiliki keajaiban tiada tara. Namun, mengapa masih banyak orang yang tidak gemar melakukannya?
Baca dulu kisahnya, dan semoga akan segera tergugah jiwa Anda. Bagi saudaraku yang masih terbaring sakit, walaupun Anda mungkin masih menjalani pengobatan medis, tak mengapa, tetaplah bersedekah. Dengan keikhlasan niat dan kemantapan iman, sedekah yang Anda keluarkan itu insya’ Allah akan mempercepat kesembuhan Anda. Simak baik-baik kumpulan kisah nyata di bawah ini !

1. Bisul di Wajahnya Sirna

Disebutkan di dalam kitab Shahihut Targhib wat Tarhib 964 M, dari Imam Baihaqi v, bahwa ia berkata, “Ada kisah Syaikh Hakim Abi ‘Abdillah v, bahwa ia memiliki bisul di wajah dan telah diobati dengan berbagai macam obat, tapi tak kunjung sembuh juga. Sudah hampir satu tahun lamanya bisul tersebut menghinggapi wajahnya. Kemudian ia meminta kepada Ustadz Imam Abu ‘Utsman Ash-Shobuni untuk mendoakannya di majelis beliau pada hari Jumat. Beliau pun mendoakannya dan diamini oleh banyak orang.

Pada hari Jumat berikutnya ada seorang wanita yang menyampaikan selembar surat yang mengatakan bahwa sesampainya di rumah, ia kemudian bersungguh-sungguh dalam mendoakan Hakim Abu ‘Abdillah pada malam harinya. Lalu dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW yang seakan-akan bersabda kepadanya, “Katakan kepada Abu ‘Abdillah agar melapangkan air bagi kaum muslimin.” Kemudian aku membawa surat tersebut kepada Hakim. Lalu Hakim memerintahkan agar membuat galian di depan pintu rumahnya. Setelah galian tersebut selesai dikerjakan, beliau memerintahkan agar memenuhi galian tersebut dengan air dan kerikil. Orang-orang pun mulai mengambil air tersebut untuk minum. Tidak sampai satu pekan, tanda-tanda kesembuhan telah nampak pada Abu ‘Abdillah. Maka wajahnya telah kembali tampan seperti sedia kala. Setelah peristiwa itu beliau masih hidup selama beberapa tahun.

2. Galilah Sumur, dan Sakitmu Akan Sembuh

Di dalam Siyar A’lamin Nubala’ 8/407 disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada ‘Abdullah bin Mubarak v tentang luka bernanah (bisul) yang keluar dari lututnya sejak tujuh tahun yang lalu. Ia telah mengobatinya dengan berbagai macam obat dan banyak bertanya kepada para dokter, tetapi belum sembuh juga. Maka beliau pun menjawab, “Pulanglah, lalu galilah sumur di tempat orang-orang yang membutuhkan air. Sesungguhnya aku berharap akan keluar mata air di sana, dan darahmu akan berhenti.” Lelaki itu pun melaksanakan perintah Ibnul Mubarok, maka ia pun sembuh.


3. Penyakit Kanker Sembuh Dengan Sedekah

Disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang mengidap penyakit kanker. Ia sudah berkeliling dunia untuk mencari obat, namun ia belum mendapatkannya. Maka, ia pun bersedekah kepada ibu anak yatim, sehingga Allah memberikan kesembuhan kepadanya.[3]

4. Sembuh Karena Berinfak kepada Anak Yatim

Ada seorang wanita yang tinggal di Arab Saudi bercerita, “Aku menderita penyakit kanker beberapa tahun, dan aku yakin maut telah mendekat. Aku menginfakkan penghasilanku dari menjadi tukang bordir kepada anak-anak yatim. Setiap harta yang aku infakkan kepada mereka, maka Allah membalasku dengan berlipat ganda, dan akhirnya Dia memberikan kesembuhan dari penyakitku, karena disebabkan infakku kepada anak-anak yatim.”

5. Wanita Mandul Itu Bisa Hamil

Ada seorang wanita yang mendapat cobaan dengan kemandulan, ia tak dikaruniai anak. Para dokter telah berputus asa dari kemungkinan ia bisa hamil, dan bahwa penyakit itu memang tidak ada obatnya. Maka, Allah Ta’ala memberikan taufik kepadanya agar ia bersedekah kepada seorang wanita fakir. Sesudah ia bersedekah kepada wanita itu, ia meminta kepadanya agar mendoakan dirinya dikaruniai anak shalih. Setelah berlalu tiga bulan, wanita itu pun mengandung dua anak kembar!

6. Penglihatannya Kembali Normal Seperti Sedia Kala

Seorang anak kecil bermain bersama saudaranya, tangannya membawa pisau. Tiba-tiba saja, ia memukulkan pisau tersebut ke mata saudarinya. Dengan cepat saudarinya tersebut dilarikan ke rumah sakit. Kemudian ia dipindahkan ke Riyadh. Setelah diperiksa dan dirongent, tim dokter memutuskan bahwa harapan kornea matanya bisa kembali normal amat tipis, sehingga sangat mustahil ia bisa melihat kembali seperti sedia kala.

Suatu hari sang ibu yang menemani anak perempuannya (yang sedang sakit) tersebut teringat tentang keutamaan sedekah. Maka, ia meminta kepada suaminya agar membawakan batangan emas yang dimilikinya, di mana ia tidak memiliki kekayaan selain barang tersebut. Ia ingin mensedekahkannya, meski sebenarnya secara materi ia juga kekurangan. Ia berdoa kepada Allah seraya berucap, “Wahai Robbku, Engkau tahu bahwa aku tidak memiliki harta selain barang itu, maka jadikanlah sedekahku ini sebagai sarana kesembuhan anak putriku ini.”

Keesokan harinya dokter datang untuk kembali memeriksa anak tersebut, ternyata perkataan dokter tetap seperti kemarin, anaknya tidak ada harapan sembuh. Beberapa hari kemudian, datang dokter lain dan memeriksanya, ia berpikir dan memperhatikan dengan cermat. Tiba-tiba saja, dokter itu menginstruksikan untuk mengadakan operasi. Ternyata operasi itu berhasil, semata-mata karena karunia Allah. Al-hamdulillah, akhirnya sang anak perempuan itu bisa kembali ke rumahnya dengan selamat, tanpa ada sedikit pun bekas luka di wajahnya, dan penglihatannya kembali normal seperti sedia kala.

7. Putrinya Sembuh Lantaran Sedekah

Ada sebuah kisah yang disampaikan oleh Syaikh Sulaiman Al-Mufarraj –-semoga Allah memberinya taufik–, bahwa seseorang telah bercerita kepada Syaikh perihal kisah ajaib yang dialaminya, ia mengatakan, “Aku memiliki anak perempuan yang masih kecil, yang terkena penyakit di tenggorokannya. Aku telah pergi bersamanya ke beberapa rumah sakit dan telah membeberkan jenis penyakit yang dialami anakku kepada banyak dokter, namun semuanya tidak bermanfaat. Sakitnya menjadi semakin bandel. Aku hampir saja ikut sakit lantaran memikirkan sakit anakku, yang menjadikan semua anggota keluarga tak bisa tidur. Kami telah menempuh langkah-langkah untuk meringankan sakitnya, hingga akhirnya kami merasa putus asa dari semua itu, kecuali dari rahmat Allah Ta’ala.

Sampai suatu ketika datanglah secercah harapan dan terbukalah pintu solusi. Ada seorang yang shalih menghubungiku dan mengingatkanku akan hadits Nabi  :

دَوُّوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ

“Obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Aku berkata kepadanya, “Sungguh, aku telah banyak bersedekah.” Ia kembali berkata, “Bersedekahlah saat ini dengan niat agar putrimu mendapatkan kesembuhan.” Akhirnya, aku pun bersedekah dengan dilandasi kerendahan hati kepada salah seorang fakir, namun segala sesuatunya tak ada perubahan. Aku menginformasikan hal ini kepada orang shalih itu, dan ia berkata, “Anda termasuk orang yang memiliki banyak harta. Hendaklah sedekahmu seukuran dengan hartamu.”

Aku pun pergi untuk kedua kalinya, dan mobilku kupenuhi dengan beras, ayam dan barang yang baik-baik dalam jumlah yang besar, lalu kubagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Mereka pun bergembira dengan sedekahku. Dan subhanallah, tiba-tiba putriku menjadi sembuh total, alhamdulillah.

Aku yakin bahwa sedekah merupakan faktor penyebab kesembuhan yang terbesar. Sekarang, berkat anugerah Allah, putriku selama tiga tahun ini tidak pernah terkena penyakit apa pun. Sejak itulah aku memperbanyak sedekahku, khususnya pada waktu-waktu yang baik. Dan, aku setiap hari merasakan kenikmatan, keberkahan dan kesehatan dalam hal harta dan keluargaku. Aku pun menasihati setiap orang yang sakit agar bersedekah dengan harta yang paling berharga yang ia miliki. Hendaknya ia ulangi sedekahnya itu, niscaya Allah Ta’ala pasti akan menyembuhkannya. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”


8. Emas yang Disedekahkan Membawa Kesembuhan Anaknya

Seorang pemuda masuk ke rumah sakit karena penyakit parah yang dideritanya -–semoga Allah memberikan keselamatan dan kesehatan kepada kita dan menyembuhkan kaum muslimin yang sedang sakit-–. Setelah diperiksa, tim dokter menetapkan bahwa harapannya untuk sembuh sangat tipis. Dokter berkata kepada sang ibu yang menemaninya, “Penuhilah keinginan-keinginannya, sepertinya ia tidak mempunyai harapan sembuh lagi, namun Allohlah yang paling mengetahui.”

Sang ibu sangat terpukul dengan informasi tersebut. Ia teringat dengan belahan hatinya, ia khawatir jangan-jangan harus berpisah dengannya selama-lamanya. Maka, ia pun menjual semua emas yang dimilikinya, kemudian mensedekahkan seluruh uang hasil penjualannya. Beberapa hari kemudian, dokter memberitahukan kepada sang ibu bahwa anaknya ada harapan untuk sembuh, dan keadaannya membaik sedikit demi sedikit. Akhirnya beberapa hari kemudian, keluarlah pemuda itu dari rumah sakit dalam keadaan sehat wal afiat. Semuanya memuji kepada Allah l atas kesembuhan dan kasih sayang-Nya.

9. Terkena ‘Ain, Sembuh Dengan Sedekah

Syaikh Sulaiman Al-Mufarraj mengatakan bahwa ada seseorang bercerita kepadanya, orang itu berkata, “Saudaraku pergi ke suatu tempat, lalu berhenti di salah satu jalan. Tatkala sampai di tempat itu, ia tidak mengeluhkan apa pun, namun tiba-tiba ia jatuh pingsan, seperti terkena tembakan senapan di kepalanya. Kami memprediksi bahwa ia terkena penyakit ‘ain atau mengidap penyakit tumor atau terjadi pembekuan pada pembuluh darah di otak.

Kami segera pergi ke beberapa rumah sakit dan klinik pengobatan, lalu ia diperiksa dan dirontgen. Hasil pemeriksaan mengatakan bahwa kepalanya sehat, namun ia terus mengeluhkan rasa sakit di saat akan tidur, sehingga ia sering memilih untuk tidak tidur. Namun, di saat yang lain ia merasa sehat.

Apabila sakitnya kambuh, ia tak mampu bernafas dan berbicara. Syaikh Sulaiman pun berkata, “Apakah Anda memiliki harta yang bisa kami sedekahkan untukmu, semoga Allah menyembuhkanmu!” Ia menjawab, “Ya. Saya memiliki harta kira-kira jumlahnya 7.000 riyal.” Maka, sang Syaikh segera menghubungi seorang yang shalih yang mengetahui keadaan orang-orang miskin, untuk membagi-bagikan sedekah itu kepada mereka.
Orang itu berkata, “Aku bersumpah demi Allah yang Maha Agung, bahwa saudaraku itu sembuh dari sakitnya pada hari yang sama sebelum harta itu sampai ke tangan orang-orang miskin!! Dan, aku benar-benar tahu bahwa sedekah memang memiliki pengaruh yang besar dalam pengobatan berbagai penyakit.”

10. Penyakit Demam Tak Berdaya Melawan Sedekah

Syaikh Sulaiman Al-Mufarraj mengatakan bahwa kisah ini diceritakan oleh pelakunya sendiri, orang itu berkata kepada Syaikh, “Anakku mengeluhkan penyakit demam dan panas, serta ia tak mau makan. Aku pun pergi bersamanya ke beberapa klinik pengobatan, namun panasnya tak kunjung turun dan keadaannya semakin memburuk.
Aku masuk ke dalam rumah disertai perasaan gelisah, tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Isteriku berkata kepadaku, “Hendaklah kita bersedekah untuknya.” Aku pun segera menghubungi via telepon seseorang yang memiliki jalinan hubungan dengan orang-orang miskin, aku berkata kepadanya, “Aku berharap Anda mau shalat ‘Ashar di masjid, dan mau mengambil dari tempatku 20 kantong beras dan 20 boks ayam, lalu hendaklah Anda membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan.”

Aku bersumpah demi Allah, tidak sampai lima menit sesudah aku menutup gagang telepon, tiba-tiba anakku telah berlari-lari, bermain-main, berlompatan di atas sofa, dan makan-makan hingga kenyang, serta ia telah sembuh total berkat karunia Allah dan selanjutnya berkat keutamaan sedekah. Dan, aku berpesan kepada orang banyak agar memberikan perhatian kepada sedekah, saat terkena berbagai penyakit.”

11. Sedekah Mengobati Penyakit Jiwa

Ada seorang wanita yang menderita penyakit jiwa yang parah. Salah seorang kerabatnya bangkit dan segera bersedekah dengan meniatkan kesembuhan untuknya kepada seorang yang shalih namun fakir yang menanggung beban hidup dua keluarga, dan ia meminta agar orang shalih itu mendoakan saudaranya. Maka, Allah pun menyelamatkan wanita itu dari bala’, dan sedekah itu menjadi penyebab kesembuhannya.

Saudara yang bersedekah itu mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorang pun dari keluargaku yang tahu tentang sedekahku. Sesungguhnya aku ingin menjadikan sedekah itu ikhlas untuk menggapai keridhaan Allah Ta’ala.” Segala puji bagi Allah, yang telah menyembuhkan kerabatnya dari penyakit jiwa yang dideritanya.

12. Sakitnya Hilang Tanpa Bekas

Ada seorang wanita yang mengalami gagal ginjal -–kita memohon kepada Allah, semoga Dia memberikan keselamatan, kesehatan, dan kesembuhan bagi kaum muslimin yang sakit–. Ia sudah berulang kali memeriksakan dan mengobatkan sakit yang dideritanya tersebut. Akhirnya, ia mencari-cari sekiranya ada orang yang mau merelakan ginjalnya untuk disumbangkan kepada dirinya, ia siap membayar dengan uang sejumlah 20.000 riyal.

Tersebarlah berita tersebut di kalangan orang-orang ketika itu, hingga ada salah seorang wanita yang mendengar kabar tersebut yang akhirnya langsung menuju ke rumah sakit untuk mendonorkan ginjalnya. Ia menyetujui seluruh ketentuan-ketentuan yang diajukan kepadanya sebelum menjalani operasi. Di hari yang telah ditentukan, perempuan yang sakit tersebut menemui sang pendonor, ternyata ia sedang menangis. Karena heran melihat keadaannya, ia pun bertanya, “Apakah Anda merasa terpaksa dan keberatan dengan operasi yang akan Anda jalani?” Wanita pendonor itu berkata, “Sebenarnya tidak ada yang mendorongku untuk mendonorkan ginjalku selain kemiskinan yang menimpa diriku dan karena aku sangat membutuhkan uang.”

Wanita pendonor itu kembali menangis tersedu-sedu, maka wanita yang sedang sakit itu menenangkannya dengan mengatakan, “Silahkan engkau ambil uang ini, dan aku tidak menghendaki sesuatu pun darimu…”. Beberapa hari kemudian perempuan yang sakit tersebut kembali ke rumah sakit. Ketika tim dokter memeriksa penyakitnya, begitu terkejutnya mereka, karena tidak mendapati sedikit pun bekas sakit pada dirinya. Al-hamdulillah, ternyata Allah l telah menyembuhkannya.

13. Sudah Masuk Ruang ICU, Mendadak Sembuh

Ada seorang wanita masuk ruang ICU (unit gawat darurat) karena penyakit parah yang dideritanya. Beberapa muhsinin (orang-orang yang suka berbuat kebaikan) mengetahui keadaannya, maka mereka pun menyembelih seekor unta dan meniatkan pahalanya untuk si wanita tersebut. Setelah itu, mereka mensedekahkan daging unta tersebut kepada para keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhannya dengan mengharap pahala dari Allah l. Beberapa hari kemudian, akhirnya Allah memberikan kesembuhan kepada wanita tersebut. Hanya bagi Allohlah segala pujian dan karunia.

14. Sedekah Menolak Gangguan Sihir

Dikisahkan, ada beberapa wanita yang berbincang-bincang tentang keajaiban sedekah. Dan, belum selesai para wanita itu membicarakan tentang keutamaan sedekah, tiba-tiba salah seorang wanita yang ada di antara mereka –-yang sedang terkena sihir– melepas kalungnya yang mahal harganya. Kalung itu kemudian ia berikan kepada salah seorang temannya agar dijual dan uangnya diberikan kepada para keluarga miskin.

Ketika temannya tersebut pergi ke tempat penjual emas dan sang penjual ingin menimbangnya, maka sang penjual mengeluarkan mata batu yang terletak di tengah kalung tersebut. Sang penjual begitu terheran-heran dan kebingungan dengan apa yang dilihatnya. Karena ia menyaksikan ada buhul sihir di dalam mata batu kalung itu. Sang penjual kemudian mengeluarkannya, dan alhamdulillah, akhirnya sembuhlah perempuan pemilik kalung tersebut dari penyakit yang selama ini dideritanya.

15. Suami Bersedekah Emas, Isterinya Sembuh Seketika

Seorang dokter menelepon suami seorang wanita yang sedang terbaring sakit di sebuah rumah sakit. Dokter itu memberitahukan bahwa istrinya sedang mengalami masa kritis, dan dari tinjaun medis harapan untuk sembuh sangatlah tipis. Sang suami sangat terpukul dengan berita tersebut. Maka ia segera bergegas mengeluarkan sedekah berupa emas milik istrinya. Setelah itu, ia pergi ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian, sang dokter memberitahukan kepadanya bahwa beberapa saat yang lalu (yakni saat bersamaan waktu sang suami bersedekah), nampak tanda-tanda membaik dan kesembuhan pada diri sang istri. Kemudian ia dipindahkan dari ruang ICU ke kamar perawatan biasa. Beberapa hari kemudian, ia telah keluar dari rumah sakit tersebut. Segala puji bagi Allah, Pemilik Keutamaan dan Kebaikan.

16. Gigi Gerahamnya Sembuh Total

Seorang juru dakwah wanita yang terkenal bercerita, “Aku berada di Al-Haram sejak beberapa tahun yang lalu. Suatu ketika gigi gerahamku sakit, yang aku agak terlambat dalam mengobatinya. Aku bahagia dengan keberadaanku di Al-Haram dan aku ingin menyibukkan diri dengan Al-Quran. Akan tetapi, jikalau penyakit itu terus terjadi, maka aku akan pergi ke dokter dan aku akan meluangkan waktuku.

Terlintas dalam benakku sebuah pikiran untuk menolak penyakit ini dengan sedekah. Akhirnya, aku pun bersedekah kepada seorang anak perempuan di Al-Haram. Demi Allah, hanya dalam waktu singkat, penyakitku menjadi sembuh. Dan sejak itu hingga waktu ini, aku tidak lagi membutuhkan dokter untuk mengobati penyakitku ini, karena penyakit itu tidak pernah lagi menyerangku.

17. Diprediksi Mati, Allah Menyelamatkannya Dengan Sekedah

Syaikh ‘Abdul Hadi Badlah, Imam Masjid Jami’ur Ridhwan di Halab Syiria, pernah bercerita, “Di awal pernikahanku, Allah telah menganugerahkan kepadaku anak yang pertama. Kami sangat bergembira dengan anugerah ini. Akan tetapi, Allah l berkehendak menimpakan penyakit yang keras kepada anakku. Pengobatan seakan tak berdaya untuk menyembuhkannya, keadaan sang anak semakin memburuk, dan keadaan kami pun menjadi buruk karena sangat bersedih memikirkan keadaan buah hati kami dan cahaya mata kami. Kalian tentu tahu, apakah artinya anak bagi kedua orang tuanya, terutama ia adalah anak yang pertama!!

Perasaan buruk itu menyeruak di dalam hati, karena kami merasa tak berdaya memberikan pengobatan bagi penderitaan anak kami!!
Sehatnya kita memang merupakan perintah Allah dan ketentuan-Nya, namun kita memang harus mengambil langkah-langkah pengobatan dan tidak meninggalkan kesempatan atau sarana apa pun untuk mengobatinya.

Seorang yang baik menunjukkan kepada kami adanya seorang dokter yang berpengalaman dan terkenal, maka aku pun pergi bersama anakku kepadanya. Anakku mengeluhkam demam yang sangat tinggi, dan dokter itu berkata kepada kami, “Apabila panas anak Anda tidak turun malam ini, maka ia akan meninggal esok hari!!”
Aku kembali bersama sang anak dengan kegelisahan yang memuncak. Sakit menyerang hatiku, hingga kelopak mataku tak mampu terpejam tidur. Aku pun mengerjakan shalat, lalu pergi dengan wajah muram durja meninggalkan isteriku yang menangis sedih di dekat kepala anakku.

Aku terus berjalan di jalanan, dan tidak tahu apa yang harus aku perbuat untuk anakku!! Tiba-tiba aku teringat dengan sedekah, dan ingat dengan hadits Rasulullah n, tatkala beliau bersabda, “Obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah.” Namun, siapa yang akan aku temui di waktu malam seperti ini. Aku bisa saja mengetuk pintu seseorang dan bersedekah kepadanya, tapi apa yang akan ia katakan kepadaku jika aku melakukan hal itu?

Tatkala aku berada dalam kondisi bimbang seperti itu, tiba-tiba ada seekor kucing lapar yang mengeong di kegelapan malam. Aku menjadi ingat dengan sabda Rasulullah n tatkala ditanya oleh seorang sahabat, “Apakah berbuat baik kepada binatang bagi kami ada pahalanya?” Beliau n menjawab, “Di dalam setiap apa yang bernyawa ada pahalanya” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). Aku pun segera masuk ke rumahku, mengambil sepotong daging, dan memberi makan kucing itu.

Aku menutup pintu belakang rumahku, dan suara pintu itu bercampur dengan suara istriku yang bertanya, “Apakah engkau telah kembali kepadaku dengan cepat?” Aku pun bergegas menuju ke arahnya. Dan, aku mendapatkan wajah isteriku telah berubah, dari permukaan wajahnya telah menyiratkan kegembiraan!

Ia berkata, “Sesudah engkau pergi, aku tertidur sebentar masih dalam keadaan duduk. Maka, aku melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan!!”
Dalam tidurku, aku melihat diriku mendekap anakku. Tiba-tiba ada seekor burung hitam yang besar dari langit yang terbang hendak menyambar anak kita, untuk mengambilnya dariku. Aku menjadi sangat ketakutan, dan tidak tahu apa yang harus aku perbuat? Tiba-tiba muncul kepadaku seekor kucing yang menyerang secara dahsyat burung itu, dan keduanya pun saling bertempur. Aku tidak melihat kucing itu lebih kuat daripada burung itu, karena si burung badannya gemuk. Namun akhirnya, burung elang itu pun pergi menjauh. Aku terbangun mendengar suaramu ketika datang tadi.

Syaikh ‘Abdul Hadi berkata, “Aku tersenyum dan merasa gembira dengan kebaikan ini. Melihat aku tersenyum, isteriku menatap ke arahku dengan terheran-heran.”
Aku berkata kepadanya, “Semoga semuanya menjadi baik.”

Kami bergegas mendekati anak kami. Kami tak tahu siapa yang sampai terlebih dulu, tatkala penyakit demam itu sirna dan sang anak mulai membuka matanya. Dan, pada pagi hari berikutnya, sang anak telah bermain-main bersama anak-anak yang lain di desa ini, alhamdulillah.

Sesudah Syaikh menyebutkan kisah menakjubkan ini, anak tadi yang telah menjadi pemuda berumur 17 tahun, serta telah sempurna menghafalkan Al-Quran dan menekuni ilmu syar’i, ia menyampaikan nasihat yang mendalam kepada kaum muslimin di masjid orang tuanya, Masjid Ar-Ridhwan di Halb, di salah satu malam dari sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan yang penuh berkah.

(Sumber : Buku “Berobat Dengan Sedekah”, karya Muhammad Albani, Penerbit Insan Kamil, Solo, Cet. X, Juni 2009)

Sabtu, 16 Juni 2012

Golongan wanita yang disiksa dalam neraka

Abdullah Bin Mas'ud r.a. meriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda: “Apabila seorang wanita mencucikan pakaian suaminya, maka Allah azza wa jalla mencatat baginya seribu kebaikan, dan mengampuni dua ribu kesalahannya, bahkan segala sesuatu yang disinari sang surya akan memintakan ampunan baginya, dan Allah azza wa jalla mengangkat seribu derajat untuknya.” (H.R. Abu mansur didalam kitab masnadil firdaus)

Ali meriwayatkan sebagai berikut: Saya bersama-sama Fathimah berkunjung kerumah Rasulullah, maka kami temui beliau sedang menangis. Kami bertanya kepada beliau: “Apakah yang menyebabkan engkau menangis wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pada malam aku di Isra’kan ke langit, saya melihat orang-orang yang sedang mengalami penyiksaan, maka apabila aku teringat keadaan mereka, aku menangis.” Saya bertanya lagi, “Wahai Rasulullah apakah engkau lihat?” Beliau bersabda:
  • Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih.
  • Wanita yang digantung dengan lidahnya serta tangan dicopot dari punggungnya, aspal mendidih dari neraka dituang ke kerongkongnya.
  • Wanita yang digantung dengan buah dadanya dari balik punggungnya, sedang air getah kayu Zakum dituangkan ke kerongkongnya.
  • Wanita yang digantung, diikat kedua kaki dan tangannya kearah ubun-ubun kepalanya, serta dibelit dan dibawah kekuasaan ular dan kala jengking.
  • Wanita yang memakan badannya sendiri, serta dibawahnya tampak api yang berkobar-kobar dengan hebatnya.
  • Wanita yang memotong-motong badannya sendiri dengan gunting dari neraka.
  • Wanita yang bermuka hitam serta dia makan usus-ususnya sendiri.
  • Wanita yang tuli, buta dan bisu didalam peti neraka, sedang darahnya mengalir dari lubang-lubang badannya (hidung, telinga, mulut) dan badannya membusuk akibat penyakit kulit dan lepra.
  • Wanita yang berkepala seperti kepala babi dan berbadan himmar (keledai) yang mendapat berjuta macam seksaan.
  • Wanita yang berbentuk anjing, sedangkan beberapa ular dan kala jengking masuk melalui duburnya atau mulutnya dan keluar melalui duburnya, sedangkan malaikat sama-sama memukuli kepalanya dengan palu dari neraka.
Maka berdirilah Fatimah seraya berkata, “Wahai ayahku, biji mata kesayanganku, ceritakanlah kepadaku, apakah amal perbuatan wanita-wanita itu.” Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam. bersabda: “Hai Fatimah, adapun tentang;

  • Wanita yang digantung dengan rambutnya kerana tidak menjaga rambutnya (dijilbab) dikalangan laki-laki.
  • Wanita yang digantung dengan lidahnya, karena dia menyakiti hati suaminya, dengan kata-katanya. “Kemudian Nabi-shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak seorang wanita pun yang menyakiti hati suaminya melalui kata-kata, kecuali Allahazza wajall akan membuat mulutnya kelak dihari kiamat selebar tujuh puluh dzira kemudian akan mengikatkannya dibelakang lehernya”.
  • Adapun wanita yang digantung dengan buah dadanya, karena dia menyusui anak orang lain tanpa seizin suaminya.
  • Adapun wanita yang diikat dengan kaki dan tanganya itu, karena dia keluar rumah tanpa seizin suaminya, tidak mandi wajib dari haid dan dari nifas (keluar darah setelah melahirkan).
  • Adapun wanita yang memakan badannya sendiri, karena dia bersolek untuk dilihat laki-laki lain serta suka membicarakan aib orang lain.
  • Adapun wanita yang memotong-motong badannya sendiri dengan gunting dari neraka, dia suka menonjolkan diri (ingin terkenal) dikalangan orang banyak, dengan maksud supaya mereka (orang banyak) itu melihat perhiasannya, dan setiap orang yang melihatnya jatuh cinta padanya, karena melihat perhiasannya.
  • Adapun wanita yang diikat kedua kaki dan tangannya sampai keubun-ubunnya dan dibelit oleh ular dan kalajengking, karena dia mampu untuk mengerjakan sholat dan puasa, sedangkan dia tidak mau berwudhu dan tidak sholat dan tidak mau mandi wajib.
  • Adapun wanita yang kepalanya seperti kepala babi dan badannya seperti keledai (himmar), karena dia suka mengadu-domba serta berdusta
  • Adapun wanita yang berbentuk seperti anjing, karena dia ahli fitnah serta suka marah-marah pada suaminya.

Dalam sebuah hadis Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: empat jenis wanita yang berada di syurga dan empat jenis wanita yang berada di neraka dan beliau menyebutnya di antara empat jenis perempuan yang berada di syurga ialah:
  1. Perempuan yang menjaga diri dari berbuat haram lagi berbakti kepada Allah dan suaminya.
  2. Perempuan yang banyak keturunannya lagi penyabar serta menerima dengan senang hati dengan keadaan yang serba kekurangan (dalam kehidupan) bersama suaminya.
  3. Perempuan yang bersifat pemalu, dan jika suaminya pergi maka ia menjaga dirinya dan harta suaminya, dan jika suaminya datang ia mengekang mulutnya dari perkataan yang tidak layak kepadanya.
  4. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia mempunyai anak-anak yang masih kecil, lalu ia mengekang dirinya hanya untuk mengurusi anak-anaknya dan mendidik mereka serta memperlakukannya dengan baik kepada mereka dan tidak bersedia kawin karena khawatir anak-anaknya akan tersia-sia (terlantar / terbiar)”
Kemudian Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Dan adapun empat jenis wanita yang berada di neraka ialah:
  1. Perempuan yang jelek (jahat) mulutnya terhadap suaminya, jika suaminya pergi, maka ia tidak menjaga dirinya dan jika suaminnya datang ia memakinya (memarahinya).
  2. Perempuan yang memaksa suaminya untuk memberi apa yang ia tidak mampu.
  3. Perempuan yang tidak menutupi dirinya dari kaum lelaki dan keluar dari rumahnya dengan menampakkan perhiasannya dan memperlihatkan kecantikannya (untuk menarik perhatian kaum lelaki).
  4. Perempuan yang tidak mempunyai tujuan hidup kecuali makan, minum dan tidur dan ia tidak senang berbakti kepada Allah, RasulNya dan suaminya. Oleh karena itu seorang perempuan yang bersifat dengan sifat-sifat (empat) ini, maka ia dilaknat termasuk ahli neraka kecuali jika ia bertaubat”

Diceritakan dari isteri Khumaid As-sa-idiy bahawa ia datang kepada Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: “Hai Rasulullah sesungguhnya aku senang mengerjakan sholat bersamamu”. Beliau berkata: “Aku mengerti bahwa engkau senang mengerjakan sholat bersamaku, akan tetapi sholatmu di tempat tidurmu itu lebih baik dari pada sholatmu dikamarmu dan sholatmu dikamarmu lebih baik dari sholatmu dirumahmu dan sholatmu dirumahmu lebih baik daripada sholatmu di mesjidku”.

(Bagi lelaki sangat dituntut sembahyang berjamaah di mesjid) Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya yang lebih disukai sholatnya perempuan oleh Allah ialah yang dilakukan pada tempat yang amat gelap dirumahnya”. Diceritakan dari Aisyah .: “Pada suatu ketika Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di masjid, tiba-tiba masuklah seorang perempuan dari suku Muzainah yang memakai pakaian yang terseret-seret ditanah untuk perhiasan pada dirinya di dalam masjid”. Maka Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam. bersabda: “Wahai manusia laranglah isteri-isterimu dari memakai perhiasan dan memperindah gaya berjalan di dalam masjid.

Karena sesungguhnya kaum Bani Israil itu tidak dilaknat hingga mereka memberi pakaian isteri-isteri mereka dengan pakaian perhiasan dan mereka berjalan dengan gaya sombong di dalam masjid”. Ibnu Abas meriwayatkan juga bahwa Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang wanita keluar rumahnya dengan mempesolek dirinya serta memakai bau-bauan (sedang suaminya ridha akan berbuatan yang demikian itu), maka dibangunkan untuk suaminya pada setiap langkahnya sebuah rumah di neraka.” Sabda Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam lagi yang bermaksud:

“Jihad seorang wanita ialah taatkan suami dan menghiaskan diri untuknya” Isteri tidak wajib taat suruhan dan arahan suami, apabila suruhan dan arahan itu bertentangan dengan hukum Allah azza wajall Imam Al-Ghazali menegaskan:

“Seorang isteri wajib mentaati suami sepenuhnya dan memenuhi segala tuntutan suami dari dirinya sekiranya tuntutan itu tidak mengandungi maksiat.”

Wallahu A’lam bishshawab

6 Pertanyaan Imam Al-Ghazali

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya....Pertanyaan pertama,"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya menjawab "orang tua, guru, kawan dan sahabatnya. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "MATI". Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185)

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan kedua...."Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?" Murid -muridnya menjawab "negara Cina, bulan, matahari dan bintang - bintang". Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawaban yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "MASA LALU".Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Olehsebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam Ghozali meneruskan Pertanyaan ketiga...."Apa yang paling besar di dunia ini?".
Murid-muridnya menjawah "gunung,bumi dan matahari". Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "NAFSU" (Al A'Raf 179).Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?". Ada yang menjawab "besi dan gajah". Semua jawaban adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "MEMEGANG AMANAH" (Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT,sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.

Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?" Ada yang menjawab "kapas, angin, debu dan daun-daunan". Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah  meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bersenang-senang kita meninggalkan sholat.

Pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"...Murid-muridnya menjawab dengan serentak, "pedang". Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA" Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Wasiat Nabi saw tentang Hubungan suami-istri

Dalam hadis yang bersumber dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah saw pernah berwasiat kepada menantunya Ali bin Abi Thalib (sa):

“Wahai Ali, jika isterimu memasuki rumahmu, hendaknya melepaskan sandalnya ketika ia duduk, membasuh kedua kakinya, menyiramkan air dimulai dari pintu rumahmu sampai ke sekeliling rumahmu. Karena, dengan hal ini Allah mengeluarkan dari rumahmu 70.000 macam kefakiran dan memasukkan ke dalamnya 70.000 macam kekayaan, 70.000 macam keberkahan, menurunkan kepadamu 70.000 macam rahmat yang meliputi isterimu, sehingga rumahmu diliputi oleh keberkahan dan isterimu diselamatkan dari berbagai macam penyakit selama ia berada di rumahmu.

Cegahlah isterimu (selama seminggu dari awal perkawinan) minum susu dan cuka, makan Kuzbarah (sejenis rempah-rempah, ketumbar) dan apel yang asam. Ali bertanya: Ya Rasulallah, mengapa ia dilarang dari empat hal tersebut? Rasulullah saw menjawab: Empat hal tersebut dapat menyebabkan isterimu mandul dan tidak membuahkan keturunan. Sementara tikar di rumahmu lebih baik dari perempuan yang mandul. Kemudian Ali (sa) bertanya: Ya Rasulallah, mengapa ia tidak boleh minum cuka? Rasulullah saw menjawab: Cuka dapat menyebabkan tidak sempurna kesucian dari haidnya; Kuzbarah menyebabkan darah haid berakibat negatif terhadap kandungannya dan mempersulit kelahiran; sedangkan apel yang asam dapat menyebabkan darah haid terputus sehingga menimbulkan penyakit baginya. Kemudian Rasulullah saw bersabda:

Pertama:
Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu pada awal bulan, tengah bulan, dan akhir bulan, karena hal itu mempercepat datangnya penyakit gila, kusta, dan kerusakan syaraf padanya dan keturunannya.

Kedua: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu sesudah Zhuhur, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan jiwa anak mudah goncang, dan setan sangat menyukai manusia yang jiwanya goncang.

Ketiga: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu sambil berbicara, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan kebisuan. Dan janganlah seorang suami melihat kemaluan isterinya, hendaknya memejamkan mata ketika berhubungan, karena melihat kemaluan dapat menyebabkan kebutaan pada anak.

Keempat: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dengan dorongan syahwat pada wanita lain (membayangkan perempuan lain), karena (bila dikaruniai anak) dikhawatirkan memiliki sikap seperti wanita itu dan memiliki gangguan kejiwaan.

Kelima: Wahai Ali, barangsiapa yang bercumbu dengan isterinya di tempat tidur janganlah sambil membaca Al-Qur’an, karena aku khawatir turun api dari langit lalu membakar keduanya.

Keenam: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dalam keadaan telanjang bulat, juga isterimu, karena khawatir tidak tercipta keseimbangan syahwat, yang akhirnya menimbulkan percekcokan di antara kalian berdua, kemudian menyebabkan perceraian.

Ketujuh: Wahai Ali, janganlah menggauli isterimu dalam keadaan berdiri, karena hal itu merupakan bagian dari prilaku anak keledai, dan (bila dianugrahi anak) ia suka ngencing di tempat tidur seperti anak keledai ngencing di sembarangan tempat.

Kedelapan: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam ‘Idul Fitri, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan anak memiliki banyak keburukan.

Kesembilan: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam ‘Idul Adhha, karena (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan jari-jarinya tidak sempurna, enam atau empat jari-jari.

Kesepuluh: wahai Ali, jangan menggauli isterimu di bawah pohon yang berbuah, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang penyambuk atau pembunuh atau tukang sihir.

Kesebelas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di bawah langsung sinar matahari kecuali tertutup oleh tirai, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan kesengsaraan dan kefakiran sampai ia meninggal.

Kedua belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di antara adzan dan iqamah, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia suka melakukan pertumpahan darah.

Ketiga belas: Wahai Ali, jika isterimu hamil, janganlah menggaulinya kecuali kamu dalam keadaan berwudhu’, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia buta hatinya dan bakhil tangannya.

Keempat belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam Nisfu Sya’ban, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan tidak bagus biologisnya, bertompel pada kulit dan wajahnya.

Kelima belas:
Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada akhir bulan bila sisa darinya dua hari (hari mahaq), karena hal itu (bila anugrahi anak) dapat menyebabkan ia suka bekerjasama dan menolong orang yang zalim, dan menjadi perusak persatuan kaum muslimin.

Keenam belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di atas dak bangunan ( yang tidak beratap), karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang munafik, riya’, dan ahli bi’ah.

Ketujuh belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu ketika hendak melakukan perjalanan (bermusafir), jangan menggaulinya pada malam itu, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia suka membelanjakan harta di jalan yang tidak benar (pemboros). Kemudian Rasulullah saw membacakan firman Allah swt:

إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنَ.

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (Al-Isra’: 27).

Kedelapan belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu jika kamu hendak bermusafir 3 hari 3 malam, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi penolong orang yang zalim.

Kesembilan belas: Wahai Ali, gauilah isterimu pada malam senin, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia menjadi pemelihara Al-Qur’an, ridha terhadap pemberian Allah swt.

Kedua puluh: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Selasa, hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia dianugrahi syahadah setelah bersaksi “Sesungguhnya tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, tidak disiksa oleh Allah bersama orang-orang yang musyrik, bau mulutnya harum, hatinya penyayang, tangannya dermawan, dan lisannya suci dari ghibah dan dusta.

Kedua puluh satu: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Kamis, hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi ahli hukum dan orang yang ‘alim.

Kedua puluh dua: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada hari Kamis setelah matahari tergelincir, hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia tidak didekati setan sampai berubah rambutnya, menjadi orang yang mudah paham, dan dianugrahi oleh Allah Azza wa Jalla keselamatan dalam agama dan di dunia.

Kedua puluh tiga:
Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Jum’at, hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang orator. Jika kamu menggauli isterimu pada hari Jum’at setelah Ashar, (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang terkenal, termasyhur dan ‘alim. Jika kamu menggauli isterimu pada malam Jum’at sesudah ‘Isya’, maka diharapkan kamu memiliki anak yang menjadi penerus, insya Allah.

Kedua puluh empat: Wahai Ali, jangan gauli isterimu pada awal waktu malam, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang tidak beriman, menjadi tukang sihir yang akibatnya buruk di dunia hingga di akhirat.

Kedua puluh lima: Wahai Ali, pegang teguhlah wasiatku ini sebagaimana aku memeliharanya dari Jibril (as). (Kitab Makarimul Akhlaq: 210-212)

(Sumber : http://syamsuri149.wordpress.com)

Jumat, 15 Juni 2012

Hari Baik dan Naas

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dan juga untuk memperoleh kebaikan dan keberkahan, maka sebaiknya kita memilih hari yang baik dan tepat untuk melakukan aktivitas. Misalnya akad pernikahan, memulai usaha, memulai membangun rumah, melakukan kontrak kerja, pindah rumah, bepergian dan lainnya. Karena hari-hari itu tidak sama nilainya, ada yang baik untuk aktivitas tertentu dan tidak baik untuk aktivitas yang lain, dan ada juga hari yang nahas (sial) sepanjang hari.

Allah swt berfirman: “Kami menghembuskan badai dalam beberapa hari yang nahas, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan di akhirat lebih menghinakan sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.” (Fushshilat/41: 16)

“Sesungguhnya Kami menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus.” (Al-Qamar/54: 19).

Tentang hari-hari pilihan, Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Hindarilah melakukan safar (bepergian) pada hari ketiga, keempat, ke 21 dan ke 25 setiap bulan, karena hari-hari itu adalah hari nahas.” (Makarimul Akhlaq: 424) .

Dan Beliau juga mengatakan :

  • Tanggal 1 - Baik untuk menjumpai penguasa, mencapai hajat, jual-beli, bercocok tanam, dan bepergian.
  • Tanggal 2 - Baik untuk bepergian, dan mencapai hajat.
  • Tanggal 3 - Buruk dan tidak baik untuk seluruh kegiatan
  • Tanggal 4 - Baik untuk perkawinan, dan tidak disukai untuk bepergian.
  • Tanggal 5 - Buruk dan na’as.
  • Tanggal 6 - Diberkati, baik untuk perkawinan, dan mencapai hajat.
  • Tanggal 7 - Diberkahi, terpilih dan baik untuk segala yang diinginkan dan rencana usaha.
  • Tanggal 8 - Baik untuk semua hajat kecuali bepergian.
  • Tanggal 9 - Diberkahi, baik untuk semua yang diinginkan manusia, dan siapa yang bepergian pada hari ini ia akan dianugerahi harta dan akan melihat setiap kebaikan dalam bepergiannya.
  • Tanggal 10 - Baik untuk semua hajat kecuali mendatangi penguasa; orang yang lari dari penguasa pada hari ini ia akan tertangkap; orang yang kehilangan sesuatu akan didapatkan; hari ini sangat baik untuk jual-beli.
  • Tanggal 11 : Baik untuk jual-beli, dan mencapai semua hajat kecuali mendatangi penguasa; dan baik untuk melakukan persembunyian.
  • Tanggal 12 - Hari ini baik dan penuh berkah; capailah hajat anda dan berusahalah insya Allah tercapai.
  • Tanggal 13 - Sepanjang hari ini na’as, maka waspadalah dalam seluruh urusan.
  • Tanggal 14 -Sangat baik untuk mencapai seluruh hajat dan usaha.
  • Tanggal 15 - Baik untuk semua hajat yang diinginkan, maka capailah hajat Anda, insya Allah tercapai.
  • Tanggal 16 - Buruk dan tercela untuk segala sesuatu.
  • Tanggal 17 - Baik dan terpilih untuk mencapai keinginan, perkawinan, jual-beli, bercocok tanam, mendirikan bangunan, mendatangi penguasa untuk suatu hajat, insya Allah tercapai.
  • Tanggal 18 - Terpilih dan baik untuk bepergian, dan mencapai hajat; orang yang melakukan perlawanan terhadap musuhnya ia akan memperoleh kemenangan dengan kekuasaan Allah swt.
  • Tanggal 19 - Terpilih dan baik untuk seluruh amal perbuatan; anak yang dilahirkan pada hari ini ia akan diberkahi.
  • Tanggal 20 - Sangat baik dan terpilih untuk mencapai hajat, bepergian, mendirikan bangunan, bercocok tanam, melangsungkan resepsi perkawinan, dan mendatangi penguasa; hari ini penuh berkah dengan kehendak Allah swt.
  • Tanggal 21 - Hari na’as sepanjang hari.
  • Tanggal 22 - Terpilih dan baik untuk jual-beli, mendatangi penguasa, bepergian, dan bersedekah.
  • Tanggal 23 - Terpilih dan sangat baik khusus untuk perkawinan, perdagangan, dan mendatangi penguasa.
  • Tanggal 24 - Hari na’as dan tercela.
  • Tanggal 25 - Buruk dan tercela, waspadalah melakukan sesuatu.
  • Tanggal 26 - Baik untuk mencapai seluruh hajat kecuali perkawinan dan bepergian; hendaknya bersedekah Anda akan merasakan manfaatnya.
  • Tanggal 27 - Sangat baik dan terpilih untuk mencapai semua hajat dan apa yang diinginkan, dan mendatangi penguasa.
  • Tanggal 28 - Berimbang antara baik dan buruk.
  • Tanggal 29 - Terpilih dan sangat baik untuk semua hajat orang yang sakit pada hari ini akan cepat sembuh; orang yang bepergian pada hari ini hartanya akan terkena musibah,dan orang yang lari akan kembali.
  • Tanggal 30 - Terpilih dan sangat baik untuk semua hajat, jual-beli, perkawinan, dan bercocok tanam ; orang yang sakit pada hari akan cepat sembuh; anak yang lahir pada hari ini ia memiliki sifat tabah dan diberkahi, dimuliakan urusannya, jujur lisannya, dan setia terhadap janji.
Perhitungan Hari-Hari ini dan perubahan hari atau tanggal hendaknya didasarkan pada Kalender Hijriyah dengan perhitungan (hisab) yang benar.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Jika terpaksa melakukan aktivitas pada hari nahas atau hari yang tidak baik, maka hendaknya bersedekah sebelum melakukan aktivitas dan membaca doa penolak bala’.